Kamis, 24 September 2009

IIdul Fitri Mudik Spiritual Menuju Fitrah Kemanusiaan


Perayaan tahunan Idul Fitri telah menghadirkan budaya dan tradisi mudik, arus balik dan arus mudik dengan segala fenomena yang melingkupinya. Menurut Saya, Peringatan Idul Fitri disamping menghadirkan Fenomena Mudik Kultural, juga sekaligus menghadirkan apa yang Saya sebut Mudik Spiritual. Mudik Spiritual hanya istilah lain dari Idul Fitri. Maaf kata untuk yang tidak sepaham dengan istilah mudik spiritual. Secara harfiah Idul Fitri berarti kembali kepada fitrah, yaitu kembalinya manusia menuju kepada fitrah kemanusiaan yang secara asali tak berdosa, bersih dari dosa-dosa.

Idul Fitri, Mudik Spiritual dalam konteks ini bisa dikatakan sebagai puncak-puncak spiritual pencapaian manusia dalam menapaki tangga-tangga menuju muttaqien, menjadi manusia merdeka, manusia yang menang, meraih kemenangan setelah bertempur dan berjihad melawan hawa nafsu yang dijalaninya melalui Ibadah Puasa Ramadhan selama sebulan penuh. Dengan demikian, Idul Fitri, mudik spiritual dalam makna yang demikian itu tidak berlaku bagi orang yang tidak melaksanakan puasa Ramadhan.

Ini memang eksklusif dalam tradisi dan ajaran agama Islam yang mengaitkan secara tidak terpisah hubungan timbal balik antara Puasa Ramadhan dengan Idul Fitri. Puncak puasa Ramadhan adalah Idul Fitri, tercapainya kembali kondisi fitrah kemanusiaan. Sekembalinya manusia pada posisi dan kondisi fitrah meniscayakan hilangnya pola-pola dan cara-cara destruktif seperti kekerasan.

Kondisi fitrah-bersih diri mengajari kita akan etika berperikehidupan yang manusiawi, untuk membedakannya dengan perikehidupan hewani, yang destruktif, dekaden dan amoral. Kondisi Fitrah juga mengajari kembali kepada kita akan pandangan dunia word view tauhid yang memiliki implikasi kesatuan keterciptaan, kemanusiaan, keumatan, tindakan dan tujuan kehidupan. Pola-pola pemecahbelahan keumatan, di hadapan pandangan dunia tauhid, terbukti hanya akan menjauhkan umat dari kesadaran akan pentingnya transformasi nilai-nilai sosial Islam.

Dalam puasa pula, ditekankan sejauh mana seseorang mampu menapaki tangga-tangga pembersihan diri menuju fitrah sebagaimana dijanjikan oleh bulan Ramadhan, yaitu tangga-tangga dan fase ramadhan rahmah, maghfirah dan itqun min Al-Nar. Dengan demikian, berpuasa sebulan penuh pun sebenarnya belum merupakan jaminan bahwa seseorang berhasil memasuki kembali (arti harfiah dari Id) garis finish lambang kemenangan dan keberhasilan menjaga kondisi fitrahnya sehingga seseorang berhak menyandang sebagai muttaqien –orang yang bertakwa sebagai tujuan puasa Ramadhan.

Fitrah yang merupakan kodrat manusia semenjak lahir menggambarkan keadaan suci-asali manusia yang secara ruhani berkecukupan (contentment) dan selalu ada dalam kesadaran berketuhanan (Gods Consciousnes). Kondisi Fitrah adalah keadaan manusia di mana dirinya sepenuh hati berada dalam kesadaran bahwa Tuhan selalu hadir dalam dirinya, dan bahwa kemana pun engkau menghadapkan wajah, di situ ada wajah Tuhan (Rahman, 1994).

Dengan demikian, hanya jika manusia berada dalam kesadaran berke-Tuhan-anlah keadaan fitrahnya dapat ia raih, pahami dan rasakan. Hal itu bisa kita pahami dan rasakan terutama ketika berada dalam kesendirian, atau ketika berada di segenap segmen kehidupan dan di “jalan-jalan” yang menuju ke arah pembumian etika dan tindakan Kebaikan.

Ketika pikiran kita mulai tenang, ketika bisa mengatasi diri dari kesibukkan adi-duniawi dan hingar bingar nuansa materialisme, akan terdengar suara nurani yang mengajak kita untuk berdialog, mendekat bahkan menyatu dengan suatu totalitas wujud Yang Maha Hadir (The Omnipresent), yaitu Tuhan. Kesadaran yang demikian itu akan mengantarkan kita pada usaha untuk menyadari ebih lanjut betapa lemahnya kita sebagai manusia di hadapan-Nya, dan betapa ekuasaan dan keperkasaan-Nya yang melintasi ruang dan waktu.

Suara yang terdengar tu adalah suara fitrah kemanusiaan; suara kesucian-kemanusiaan. Suara itulah yang dikumandangkan pada setiap saat diri kita menghadap keharibaan-Nya, dan suara-suara Allahu Akbar, La Ilaha Illallah, Allahu Akbar, Walillahi Alhamd, Takbir yang dikumandangankan saat perayaan Idul Fitri. Tak cukup hanya Mudik Kultural, kita juga perlu Mudik Spiritual


Minggu, 20 September 2009

Jangan ada lagi..!!!


Astagfirullahhal'adzim...
Ternyata Allah sedang menguji kita semua.Disamping dimana-mana lagi susah air ehm...ada kejadian yang gak kami sangka akan terjadi....GEMPA...!!! yang mengguncang bumi kita,terutama wilayah Jawa Barat.

Kejadian yang bikin semua orang khususnya santri Darussalam merasa syok.Gempa yang pertama kali dirasakan selama mondok di daruss.Tepatnya tanggal 2 September2009/12 Ramadhan 1430 H,tiga goyangan yang sangat besar dengan kekuatan 7,3 SR membangunkan seluruh santri yang sedang enaknya istirahat melepas rasa lelah kami yang sibuk dengan aktivitas kepesantrenan.
Awalnya aku tak percaya atas apa yang akan terjadi seperti hasilnya sekarang.Kuanggap semuanya hanya goyangan biasa.Eh..pas goyangan besar yang kedua,ketiga seluruh penghuni asrama berlarian keluar..aku sendiri mulai merasa takut dan semunya bertanya"dimana sumbernya??"takut-takut ada tsunami susulan di Pangandaran.Seluruh santri terutama putri tak kuasa lagi tuk menahan air mata.

Tiga kali goyang sampai asramaku kotor karena dinding - dinding kamar yang retak dan jatuh bahkan salah satu kamar di asramaku selain retak ditambah langit - langitny ada yang jebol dan saat itu pula listrik dan air langsung mati.Semua orang gak ingat apa - apa, mau lagi mandi keluar hanya beralas handuk,keluar gak pake kerudung..emmm..padahal didepan asrama kami banyak tukang yang sedang merehab gedung MI.Duh... saking paniknya,semua yang gak dilakukan jadi dilakukan.
Wah..wah..maafkan kami Ya Rabbi..kejadian itu membuat kami jadi tak sadarkan diri...

Pangurus langsung menyuruh seluruh penghuni asrama berkumpul di halaman Ibnu Rusydi untuk do'a bersama.Kami hanya menangis ingat keluarga kami nun jauh disana.Pimpinan pesantren memberitahukan pada kami bahwa sumbernya di Tasikmalaya tepatnya di Cipatujah,tapi guncanganya hampir ke seluruh wilayah.

Sesaat..selama beberapa hari gedung serbaguna yang sering kami sebut "Gedung NU" g'bisa dipake.G' nyangka rusaknya melebihi asrama kami.

Tapi,kejadian itu pun memberi kenangan pada kami semua.Kami seperti anak pengungsian saja he..he..! Puasa tahun ini takkan pernah terlupakan.Buka puasa,salat berjamaah,makan,terawih,sampai tidurpun bareng di halaman Ibnu rusdy beralaskan sejadah dengan awalnya dalam keadaan gelap.
tapi kami berharap kejadian ini "jangan ada lagi".